Selasa, 21 Agustus 2018

Kata Lutfi Harus Nulis Kejadian yang Paling Berkesan.



Jika disuruh membuat tulisan tentang "Aku dan kejadian yang paling berkesan", rasanya banyak... bahkan terlalu banyak hal yang ingin saya tuangkan dalam tulisan.

Hanya saja beberapa waktu belakangan ini saya sedang asik berada diantara para ABG ABG kreatif, bahkan cenderung hiperaktif yang terkumpul dalam sebuah grup WhatsApp.

Berawal dari 30 hari tantangan menulis yang kita ikuti selama bulan puasa, dan dilanjutkan dengan pembuatan antologi bertema kebudayaan. Dalam proses pembuatan antologi ini tidak bisa dianggap mudah, kami melalui banyak kisah yang mengharukan. Mulai dari kegemaran Uni Zyl yang doyan banget bikin list, kita yang kadang beradu pendapat dan saling mempertahankan argumen, keukeuh dengan keinginan pribadi, dan ini membuat diskusi kami tidak pernah selesai.

Yang utama adalah hampir semua di antara kami selalu punya cara untuk mementahkan kembali keputusan, dengan cara yang lucu dan kadang menyebalkan, ketika hampir saja menemukan jalan keluar pasti aja jalannya semakin memanjang dan melebar. Tapi hal inilah yang membuat kesan berbeda di grup ini. Selalu ada kosakata baru yang muncul setiap harinya, dan mungkin tidak ada di kamus.

Hanya saya, yang memiliki sifat pendiam dan pemalu, yang tidak pernah terlalu banyak bicara di grup (dan semua orang mengakui hal ini). Saya hanya bisa menyaksikan pertengkaran Uni dan Lisa yang penuh kasih sayang. Uni, emak cantik asal Padang yang sering roaming, kasih pribahasa-pribahasa yang hanya dia dan Olan yang paham. Sedangkan Lisa gadis Sumba yang kalau online dia musti lari-lari kesana kemari sampai nongkrong di atas pohon kelapa cuma buat dapetin sinyal.

Olan Boled si Purple Rose yang doyan banget kopi 7 elemen, berusaha keras untuk bisa menyelesaikan skripsinya yang tidak kunjung kelar. Semoga coretan di lembar skripsinya cepat berubah menjadi tanda tangan di buku nikah. #eh...

Cewek multi talenan juga ada di grup ini. Awalnya sih ngaku artis papan atas, atas genteng lagi, ternyata dia juga di endorse pabrik semen Gresik dan punya bakat menjadi arsitek kios buah. Nggak usah disebut kali yaaa namanya, ntar juga tenar sendiri.

Lutfi, kuncen grup ini hobinya ngajakin meet up sama anggota grup yang kebetulan lokasinya lagi berdekatan. Lutfi siap disibukkan, dicecar oleh beribu pertanyaan, protes, demo, kudeta, cacian, makian, hadiah, pujian, tembakan, dan 1000 ucapan lainnya dari anggota grup.

Rafiuddin, jarang muncul di grup, sekalinya muncul dia curhat harus bikin laporan pertanggungjawaban atas apa yang telah dia lakukan selama ini. Entah apa yang dia lakukan sampai harus bertanggung jawab seperti itu. "LIEUR!!!!" katanya.

Reni, pustakawan produktif yang sering terlihat hilir mudik di beberapa group tetangga, tapi nggak pernah ngomong, mungkin dia lelah. Sekalinya ngomong, orang lain mingkem.

Ada juga mama Mega, sama ibu Nining yang sepertinya mereka adalah orang-orang paling dewasa di grup ini, ngomongnya suka rada bener... Bener-bener emak-emak maksudnya.

Ada lagi satu orang yang mungkin sebenarnya dia adalah dalang di balik semua yang terjadi di grup ini, mas Wijaya. Tertarik menonton Once Upon a Time versi ABC Studio yang pada akhirnya bete sendiri karena dia bilang filmnya kepanjangan. Dia juga yang minta kalau tulisan ini beri hashtag pakai namanya, #mswijayakece.

By the way udah nyampe 300 kata belum ya? Keenakan nulis, nggak perlu pakai tangan cuman pakai mulut doang. Biasa sekarang zamannya MENEMU BALING, menulis dengan mulut membaca dengan telinga. Jadi nggak perlu capek tik atau nyari kertas dan pena buat nulis. Sambil rebahan juga bisa.

Mau tahu tentang menemu baling, cerita di tulisan berikutnya. Atau kalau kepo banget boleh langsung Japri aja ga usah malu-malu, gratis deh. Langsung kontak WA aja ya Bebs.


Selasa, 10 April 2018

WARMTH WINTER, ADELAIDE



Seperti mimpi, akhirnya aku di sini. Adelaide, kota yang nyaman di bagian selatan Benua Australia. Sudah hampir tiga minggu aku berada di temporary accommodation di lingkungan Adelaide University. Aku termasuk mahasiswa Indonesia yang lolos dalam program beasiswa di universitas ini.

Terus terang saja, Bahasa Inggris yang aku kuasai hanya sebatas bahasa komunikasi formal hasil kursus kilat sebelum keberangkatan, Mbak Rere dan Mas Andre banyak membantu dalam hal ini. Mereka yang sudah lama tinggal di Adelaide, dan sekarang menjadi penjamin keberadaanku di Adelaide.

Sementara waktu aku dan beberapa mahasiswa baru lainnya bisa tinggal di sebuah flat dengan biaya kampus, berkamar lima dan harus berbagi dapur, ruang makan dan 2 buah kamar mandi. Masih ada waktu sekitar dua minggu menuju masa perkuliahan aku berniat untuk segera mencari tempat tinggal sendiri, karena tidak selamanya kami diijinkan menempati flat ini. Walaupun sebenarnya tempat ini cukup layak dan aku juga kerasan di sini.

Entah apa yang membuatku nyaman di tempat ini, apakan memang suasana kota ini yang begitu sejuk atau pemandangan yang biasa aku lihat di jendela seberang sana setiap pagi. Memang sekarang sudah memasuki akhir winter menjelang spring, udara mulai hangat tapi untukku masih terlalu dingin. Namun cuaca seperti ini yang membuatku merasa nyaman. Aku merasa tidak asing dengan situasi ini, entahlah, mungkin mirip dengan Bandung di musim hujan, kota kelahiranku yang kini harus ku tinggalkan sementara.

Memandang keluar jendela kamarku dengan secangkir vanilla latte menjadi kebiasaanku setiap pagi. “Morning!” seruan yang diiringi lambaian tangan dan senyuman manis seorang pemuda di balkon kamar gedung seberang selalu menemani pagiku.

Pemuda bule yang lebih mirip Latino menurutku, dengan rambut ikal sepundak menjadi pemandangan rutinku setiap pagi, aku menjulukinya si Gondrong. Hingga suatu hari si Gondrong mengetuk pintu dan berani megunjungiku.

“Nisa, ada tamu untuk kamu.” Alisha gadis Malaysia yang sudah menjadi teman satu rumahku mengetuk pintu kamar. Aku bergegas keluar kamar dan melihat si Gondrong tengah berdiri dan memandangi foto-foto didinding.

“Hi, I am Nisa.” Sapaku dan mengulurkan tangan. Si Gondrong berbalik dan tersenyum menyambut uluran tanganku, “Hello, I am Luke, someone you see from the window every morning... there... across the...” Luke menunjuk ke arah jendela.

“Haha... Yeah I know you. Come have a seat, I’ll make you hot chocolate.” Tawarku sebelum Luck terus bicara tentang aku yang memandanginya di jendela setiap pagi.

Banyak yang kami bicarakan hari itu. Luke adalah mahasiswa yang juga bekerja sebagai masinis kereta setiap akhir pekan. Dia bisa berbicara bahasa Indonesia dan ini sangat mempermudah aku berkomunikasi. Hingga akhirnya Luke menawarkan untuk mengantarku berkeliling kota sebelum masa perkuliahan di mulai.

Banyak tempat yang kami kunjungi, mulai dari pantai, pegunungan, museum dan tempat-tempat yang ada di seluruh pelosok kota Adelaide hingga restaurant favoritnya yang hanya menyajikan makanan hallal.

Persehabatan kami terjalin semakin erat, komunikasi visual melalui jendela kamar pun berkembang dengan saling telepon setiap pagi dan malam menjelang tidur. Tak jarang dikala malam cerah kami sama-sama menatap langit di jendela masing-masing sambil bercerita melalui telpon. Aku sedikit terbuai dengan perhatian dan kebaikan yang Luke berikan selama beberapa pekan ini. Kadang ucapannya di telpon terasa sanggat indah dan menggetarkan hati, walau kadang aku tidak paham apa yang ia bicarakan, hihihi... konyol memang.

“Luke, Apa benar yang kamu bilang tadi siang di Barrosa?” Tanyaku malam ini pada Luke. Tadi siang dia mengajak ke Barrosa Reservoir, atau yang dikenal dengan The Whispering Wall, sebuah bendungan sepanjang lebih dari 100 meter yang unik.

Keunikan tempat ini adalah suara yang diucapkan dari ujung bendungan dapat tertangkap dengan jelas dari ujung lainya bendungan ini. Dan tadi siang aku mendengar Luck mengucapkan “I love you so much, and thanks for being with me.” Entah senang atau ingin memastikan, aku bertanya sekali lagi pada Luke.

“Yes, It’s true. I really love you, terima kasih sudah mau bersamaku. Aku akan terus memperhatikamu, melindungimu, apapun yang kamu butuhkan You tell me, Deary.” Jawabnya. Terasa malayang hati ini mendengar kata-katanya. Entah ini jadian atau apa, aku begitu melambung dan pembicaraan kita berlanjut hingga tidak terasa aku terlelap di tengah percakapan dengan hati berbunga-bunga. Hari-hariku akan indah mulai besok dan seterusnya dengan Luke disisiku, menyemangati aku belajar.
***

Aku terbangun, mendengar suara pilot mengucapkan kata-kata yang hanya bisa kutangkap sedikit saja. Rupanya pesawat sudah mendarat, kutengok kiri kanan kabin sudah mulai sepi.

“Excuse me, Dear. Its save now to lose your seat belt, can I help you?” Seorang pramugari membuyarkan semua yang ada di depan mataku.

“Oh, I am OK, I got it, thanks.” Aku gugup menjawab.

“Ok then, here is your back pack, and that’s the way out to the lobby. Welcome to Adelaide, Have fun.” Ucapnya ramah, aku melihat ranselku sudah turun dari compartment di atasku dan berada di kursi sebelahku yang sudah kosong.. Aku melepas headset di telinga dan bergegas beranjak menuju ke luar pesawat.

Selama perjalanan menuju lobby aku terheran, dan tersadar ternyata aku baru tiba di Adelaide. “Apa tadi aku bermimpi ya?” gumamku dalam hati. Tapi semuanya terasa nyata, semua yang aku lihat, yang aku rasakan, bahkan setiap debaran jantung pada setiap kejadian tadi aku benar-benar merasakannya ... dan menikmatinya.

“Tidak mungkin aku tidur sepanjang perjalanan dari Jakarta sampai Adelaide, minimal tidak seluruh perjalannannya deh.” Aku bicara sendiri sampai beberapa mata memandang ke arahku.

“Tujuh jam dari Jakarta ke Sydney, lalu pindah ke penerbangan domestic transit hampir seharian, city tour di Sydney, lalu dua jam terbang ke Adelaide. Tuh kan aku ingat semua, hihihi... aneh apa aku berhalusinasi ya? Mungkin terlalu serius mikirin semua petunjuk yang digambarkan Mbak Rere dan Mas Andre.” Merasa konyol sendiri akhirnya aku berbelok ke arah toilet untuk mencuci muka.

Aku teringat pada HP di saku jaketku, masih penasaran juga, pasti ada bukti bahwa aku tidak tertidur sepanjang perjalanan. Ku lihat beberapa foto lengkap dengan tulisan waktu pengambilan pada tiap gambarnya. Sejak di bandara Jakarta, selfie di kapal, banyak pose di sekitar Opera House dan Harbour Bridge, dan terakhir foto makanan di pesawat menuju Adelaide. Bukti bahwa aku tidak sepenuhnya tertidur. Tapi berarti itu tandanya aku hanya melamun dan membayangkan apa yang akan terjadi di Adelaide nanti.

“Duh, sayang banget deh ternyata gue cuma ngelamun doang, mana tuh si Gondrong cakep banget. Haaaah, sudahlah nanti gue ngelamun cowok lain lagi aja.” Aku hentikan berbicara dengan kaca dan basuh muka lusuhku, geli rasanya hati ini, untung saja tidak ada yang tahu kelakuanku menghayal di siang bolong.

Aku bergegas merapihkan diri dan berjalan menuju lobby. Kuikuti papan petunjuk menuju lobby, ku naiki sebuah escalator dan tampak banyak juga yang sedang menunggu di sana. Aku langsung mencari Mbak Rere atau Mas Andre, tak seorang pun yang mirip dengan mereka, akhirnya aku menuju tempat yang nyaman untuk duduk, mungkin mereka terlambat.

“Annisa? Excuse me, are you Annisa?” Aku palingkan wajah ke arah suara yang menyapa namaku.

“Hi, my name is Luke, and I come to pick you up, sorry I am late.” Luke mengulurkan tangan, dan WOW! Ingin pingsan rasanya. Aku sambut tangannya kemudian kucubit, aku ingin bukti bahwa dia nyata dan aku tidak sedang berhayal lagi.

“Hey, Saya cuma terlambat 10 menit saja dan kamu cubit saya.” Luke protes dan aku pun tertawa atas kekonyolan yang kuperbuat.

“Hahaha... Maafkan saya, seharusnya saya yang dicubit, saya terlalu senang ketemu kamu. Eh... I mean, It’s nice to see you, and..... lets go.” Ajakku untuk menutupi rasa kikuk atas perbuatanku mencubit lengannya tadi.

“Do you believe in me? Tidak perlu lihat my Id card?” Tanya Luke keheranan.

“That’s ok, I trust you, you are a nice guy yang gantikan Mbak Rere dan Mas Andre untuk jemput saya kan? So, Let’s go now, I am hungry!” Aku berlenggang meninggalkan Luke yang mendorong kopor beberapa langkah di belakangku menuju tempat parkir.

Sebuah mobil berukuran cukup besar berwarna putih bersuara decit alarm, pasti itu mobil Andew, dan benar saja itu mobil yang akan kami kendarai. “Is that for me?” Tanyaku ketika melihat sebuah sepeda berwarna pink tergantung dibagian belakang mobil. Sepeda itu rasanya tidak asing juga untukku, itu pasti milik Mbak Rere yang akan dia pinjamkan padaku.

“How’d you know?” Luke balik bertanya. Aku hanya tersenyum dan mengangkat pundak. Luke menggelengkan kepala melihat tingkahku. “Rere lend it to you.” lanjutnya.

“Nah, sekarang kamu bisa ajak saya ke restaurant ayam favorit kamu ‘kan, yang katanya hallal itu. I am starving, saya yang traktir deh, Ayam saos mayonnaise with avocado ‘kan?” tebakku. Luke semakin heran dan bertanya dari mana aku mengetahui hal-hal yang cukup detail tentang dirinya.

“By the way, kamu abis potong rambut ya? Aku lebih suka lihat kamu gondrong.” Tiba-tiba saja aku membayangkan Luke dengan potongan rambut gondrong dan ikal.

“Oh, are you kidding me? How did you know many things about me? Apa Rere atau Andre cerita tentang saya? Oh no...”  Tanya Luke heran.

“I don’t know, I just knew it. Dan yang saya tahu setelah ini kamu akan ajak saya membeli Metro card, lalu ke Information Center, kemudian ke temporary accommodation ‘kan? Dan kamu tinggal di gedung seberang tempat itu, betul tidak.” Aku tiba-tiba nyerocos.

“Hoo... wow... you frighten me now. Don’t tell me you are a psychic, because I live next to your door.” Jawab Luke dengan meninggikan suaranya.

Dia bilang tinggal di apartment sebelah, “Yes!” teriakku dalam hati. Akan semakin banyak kesempataan untuk bisa bersama. Aku harusnya bisa menahan diri dan tidak menceritakan khayalanku sepanjang perjalanan tadi. Tapi aku terlalu gembira bahwa beberapa khayal menjadi nyata, dan sisa dari kejadian selanjutnya seperti Dejavu buatku. Tak sabar aku untuk melalui hari-hari berikutnya bersama Luke. Sepertinya ini akan menjadi musim dingin pertama yang hangat untukkWu di sini di Adelaide.